CERMIN memang bisa membuat orang melihat bagian luar tubuhnya. Namun, tidak ada cermin yang mampu menampilkan bagian dalam diri seseorang.
Hanya pada diri anaklah orang tua bisa bercermin untuk mengenali siapa dirinya secara utuh. Anak bukan saja bisa menyerupai raut wajah, tetapi juga bisa menyalin sifat-sifat, karakter serta kekhasan dari ayah ibunya.
Dari itulah orang menyebut anak sebagai belahan jiwa. Bibitnya berasal dari sperma ayahnya, kemudian bibit itu disemai, tumbuh, dan lahir dari rahim ibunya. Baru saja usai bersalin, seorang ibu langsung terharu menyadari suatu hal menakjubkan dirinya telah melahirkan anak. Sungguh ajaib ada sesuatu yang hidup keluar dari dirinya.
Keberuntungan tidak selalu menyapa secara merata kepada setiap pasangan suami istri. Tidak jarang pasangan suami istri melalui halangan rintangan yang berat demi hadirnya satu orang jabang bayi. Ada yang harus bersabar belasan hingga puluhan tahun. Di antaranya mesti pasrah karena tak kunjung diberi amanah momongan hingga di usia larut senja.
Maka wajarlah bila setelah memiliki anak, cinta kasih orang tua begitu meluap-luap. Padahal seketika memiliki momongan, di saat itulah ayah bunda mesti memahami sudah dimulai fase penting menyiapkan tarbiyatul awlad atau pendidikan anak, yang tidak cukup mengandalkan perasaan yang meluap-luap belaka.
Dan pada berbagai ayat sucinya, Al-Qur’an mengingatkan tugas parenting dipikul bersama oleh ayah bunda, di mana seorang ayah tidak dapat berlepas tangan dengan pendidikan anaknya, meski itu beralasan beban berat tanggung jawab mencari nafkah.
Dalam Al-Qur’an tercantum secara indah seruan Luqman kepada anaknya, "Yaa bunayya! (wahai anakku sayang!)" Setelah didahului panggilan penuh cinta kasih, barulah Luqkman menunaikan tugasnya memberikan pelajaran kebenaran.
Surah Luqman ayat 13, yang artinya, “(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, ‘Ya bunayya (wahai anakku), janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.”
Nur Afif & Ansor Bahary pada Tafsir Tarbawi (2020: 32) menjelaskan:
Ungkapan ya bunayya merupakan panggilan seorang ayah kepada anaknya. Term ini merupakan bentuk tasghir atau perkecilan dari kata ibni. Secara lafaz panggilan ini untuk anak laki-laki, tapi tidak jarang juga bersifat umum, artinya bisa juga dipakai untuk anak perempuan.
Tujuan dari pentasghir-an panggilan ini adalah usia anak yang memang masih kecil, menggambarkan kasih sayang, bisa juga menjadi satu penggambaran kemesraan.
Pada setangkup kata ya bunayya ini sudah melimpah hikmahnya, ucapan ini mengandung kasih sayang, yang mengucapkannya adalah seorang ayah, disampaikan kepada anak yang masih kecil dan tema pembicaraan tentang tauhid.
Sesungguhnya tauhid adalah tema yang tidak ringan, tetapi justru baik disampaikan kepada anak-anak sejak kecil, dan mampu mereka terima dengan baik dari ayahnya yang menyampaikan secara penuh kemesraan.
Bukan hanya memberitakan tuntunan tentang tarbiyatul awlad, tetapi Al-Qur’an juga menyajikan sosok Luqman sebagai ayah yang perhatian dan penuh kasih dalam mendidik anak-anaknya.
Nur Afif & Ansor Bahary pada Tafsir Tarbawi (2020: 31) menerangkan dua kesimpulan menarik dari beberapa ayat yang memuat ungkapan ya bunayya:
Pertama, dari sapaan “ya baniyya” atau “ya bunayya” kebanyakan disampaikan oleh sang ayah dengan penuh kasih sayang. Bisa jadi hal ini merupakan teguran, sindiran sekaligus kritikan Al-Qur’an untuk para ayah yang dewasa ini dianggap lalai terhadap anak-anak mereka atau lebih fokus pada prioritas pekerjaan di luar rumah.
Kedua, kebanyakan seorang ibu mempunyai naluri yang sangat kuat untuk mendidik anaknya, dan oleh karenanya Al-Qur’an tidak perlu membahas hal tersebut.
Anak bukanlah milik orangtua karena pemilik sejatinya adalah Allah Swt. Bagi orangtua, anak merupakan amanah dari Tuhan. Namun, orangtua berkewajiban menjaga amanah itu agar bisa mengembangkan potensi fitrahnya.
Nah, dalam mendidik anak itu tidak bisa bertumpu kepada ibu belaka, meskipun sang ibu dipuja-puja sebagai ummul madrasah (sekolah atau pendidikan utama). Pendidikan anak bahkan perkembangan psikologis buah hati tidak akan lengkap tanpa sentuhan seorang ayah.
Uniknya lagi, meskipun kelembutan itu identik dengan sosok ibu, maka dari saripati ungkapan ya bunayya diketahui justru sosok ayah yang diharapkan mendidik dengan penuh kasih sayang. Bahkan sebelum sang ayah memberikan nasihat pun hendaklah dimulai dengan menyeru putra-putri berdasarkan sapaan lembut, ya bunayya! (Wahai anakku sayang).
Al-Qur’an adalah petunjuk hidup yang disiapkan Ilahi untuk umat manusia. Ketika ada konsep ya bunayya dalam kitab suci, maka kita perlu menaati pentingnya kasih sayang dalam parenting, supaya pendidikan anak-anak tercinta senantiasa dalam bingkai keberkahan.
KOMENTAR ANDA